Saturday, May 29, 2010

Beberapa Hal yang Manis

Manis.
Manis itu rasa.
Rasa itu manis.
(Haaaaaalaaaaaahhh~~...!!!!)

Rasa manis tidak hanya bisa dirasakan oleh lidah, bisa juga dirasakan oleh indera-indera lainnya. (JANGAN NGERES, ENTE!)

Mau tau apa aja yang manis? Boleh di-klik tulisan biru di bawah ini:
(Kalo gak salah tulisannya bersiul, eh, berbunyi 'Lanjut, gan!' >>Gimana nih, yang punya blog masa lupa-lupa-ingaat?? *Sebenernya ane inget*)

Wednesday, May 26, 2010

Baru tau

Baru tau bisa ngeblog pake hape.. Hahahahahaa.. Ane lagi ngeblog pake hape, nih.. Canggih ya, hape ane.. Padahal gak mahal-mahal banget lhooo.. Hahha.. Asyiiikk..

No Need

No need to kiss my lips
A peck on forehead is just enough

No need to hug me tight
A touch on my hand is just enough

No need to say that you love me
A trustworthy word is just enough

No need to spend a long time with me
A letter that sings 'How are you?' is just enough

No need to be on a date
A light conversation is just enough

No need to sacrifice yourself
A respectful attitude is just enough

No need to give all that you have
A whole pure love is just enough

Seuntai Sajak untuk SI Hati Es

Orang bilang
Emosimu sedingin salju

Tapi
Mereka tak pernah tahu
Bahwa pelukanmu
Bahkan lebih hangat dari sang mentari

Orang bilang
Bibirmu sebisu angin

Tapi
Mereka tak pernah tahu
Bahwa batinmu penuh lantunan
Yang bahkan lebih merdu dari syair manapun

Walau hanya sepatah kata
Aku mampu merasakannya

Orang bilang
Jiwamu sekeras batu

Tapi
Mereka tak pernah tahu
Bahwa sentuhanmu
Bahkan lebih lembut dari tenunan sutra terbaik

Orang bilang
Hatimu sebeku es

Tapi
Mereka tak pernah tahu
Bahwa cintamu seindah berlian
Yang kokoh
Berkilauan
Dan jauh lebih berharga dari nyawaku

Friday, May 21, 2010

My Favourite Poem

(No title)

Berilah kekuatan sekuat baja,
untuk menghadapi dunia ini,
untuk melayani dunia ini

Berilah kesabaran seluas angkasa,
untuk mengatasi siksaan ini,
untuk melupakan derita ini

Berilah kemauan sekuat garuda,
untuk melawan kekejaman ini,
untuk menolak penindasan ini

Berilah perasaan selembut sutera,
untuk menjaga peradaban ini,
untuk mempertahankan kemanusiaan ini

— Subagio Sastrowardoyo

Tugas Bahasa Indonesia

Ane disuruh guru ane bikin cerpen nih, gan..
Ane share, yaah.. Semoga agan2 n sista2 sekalian suka..


Pelacur


Sepertinya Agnes akan buka tempat melacur lagi siang ini. Kasihan Agnes. Ia punya banyak ‘teman’ yang isi otaknya tidak lebih dari seonggok cinta murah seperti kepiting di Pasar Benteng. Heran, deh. Agnes mau saja yah, melayani para pelacur itu.

Melacur adalah kegiatan favorit para pelacur. Melacur disini bukanlah ‘melacur’ seperti di Taman Lawang. Melacur disini maksudnya adalah melakukan kegiatan curhat. Para pelacur adalah pelaku curhat. Biasanya para pelacur itu punya banyak kisah cinta menarik murahan seperti di sinetron Indonesia.

Adalah Vanessa, seorang perempuan keturunan Belanda yang punya mantan lebih dari jumlah jari tangan ditambah jari kakinya. Ia sedang berjalan bak supermodel dari kelasnya kemari. Terlihat dari kaca jendela kelas yang kinclong karena baru dilap. Rasanya hampir setiap hari ia melacur di tempat pelacuran Agnes. Ada saja nama lelaki yang ia sebut; Jason, Richard, Yoga, Bayu, Ivan, Randy, Chris, dan masih banyak lagi nama laki-laki berbau barat maupun Indonesia yang terucap dari bibirnya saat melacur.

“Agnes! Gue putus sama David!” teriak Vanessa. David. Nama baru lagi.

Suara Vanessa lebih keras dari kereta api ekonomi jurusan Jakarta-Surabaya di stasiun Juanda. Wajarlah kalau bukan hanya Agnes yang mendengar isi lacurannya.

“Kok bisa, sih?” jawab Agnes (sok) perhatian. Rasa-rasanya kalimat yang barusan itu sudah diucapkannya ratusan kali.

“Yah, abis dia tukang selingkuh,” jawab Vanessa dengan suara berkekuatan 10.000 desibel yang menggema di seluruh penjuru ruang kelas. Maka resmilah acara pelacuran itu dimulai.

Agnes memang pendengar yang baik. Pendengar yang baik selalu mendengarkan keseluruhan cerita dengan mimik perhatian dengan tanpa adanya interupsi sedikitpun. Dan Vanessa memang pelacur yang baik. Pelacur yang baik melacur dari awal istirahat sampai istirahat hampir selesai.

Aku sibuk menikmati makan siangku, tidak mendengar obrolan mereka dari awal sampai akhir. Seperti biasa, Agnes tidak makan siang kalau ada yang melacur padanya saat istirahat makan siang. Kesehatannya jadi agak mengkhawatirkan. Semakin hari ia terlihat semakin kurus saja. (Atau mungkin ini hanya perasaanku)

Setelah Vanessa puas melacur, ia pergi dari kelasku. Mungkin kembali ke kelasnya. Kuhampiri Agnes yang sedang membuka bekal makan siangnya.

“Nih,” kutawari Agnes roti daging yang tadi pagi kubeli tapi belum sempat kumakan.

Ia menatapku 2,5 detik dan berkata, “Gak... aku lagi makan, kok... Makasih, yah...”

“Lagi makan? Lagi makan apa baru mau makan?”

Ia hanya diam. Dasar pendengar yang baik!

“Istirahat tinggal lima menit lagi. Kalau makan nasi gak bakal keburu. Makan aja nih,” kataku sambil kembali menyodorkan roti itu.

“Gak usah. Bener deh, gak usah...”

“Ya udah kalo gak mau,” kataku datar. Aku pun kembali ke tempat dudukku setelah mengalami penolakan besar-besaran atas niat baikku.

Baru saja dua suap nasi masuk ke mulut Agnes, bel tanda istirahat telah selesai sudah berdering. Tuh, kan! Cepat-cepat Agnes menutup tempat bekalnya. Ia lalu tersenyum ke arahku. Entah apa maksudnya.

***

Besoknya, giliran Cynthia–mantan pacarku– yang datang melacur. Cynthia sempat melihat ke arahku sedetik, tapi kemudian berpaling ke arah Agnes. Kenapa sih, dia?

Pipi Cynthia merah. Bukan karena malu atau marah, pipinya merah seperti habis ditampar dengan segenap nafsu. Cap tangan masih terlihat di pipinya walau agak samar.

“Kenapa kamu? Kok pipi kamu merah?” tanya Agnes padanya.

“Rafael nampar gue kemaren,” jawab Cynthia ringan. Rafael adalah nama pacar–atau mungkin mantannya– saat ini.

“Kok bisa, sih?” tanya Agnes. Lagi-lagi kata itu yang ia ucapkan.

“Udahlah, gak penting! Rafael tuh emang kasar! Gue benci sama dia!” teriak Cynthia. Kasar? Nyesel kan, pacaran sama tukang pukul bekas narapidana Pondok Bambu?

“Iya, terus gimana?” tanya Agnes lagi. Pertanyaan Agnes yang barusan disambut jawaban lembut dari Cynthia. Suara mereka mulai tidak jelas dan lama kelamaan tidak terdengar lagi. Suara Cynthia tidak seperti suara Vanessa yang berkoar-koar bak burung beo kelaparan yang ditinggal pemiliknya pulang kampung ke Pontianak.

Kali ini Agnes punya cukup waktu untuk menghabiskan makan siangnya karena Cynthia tidak terlalu lama melacur. Bel berbunyi tepat setelah Agnes menutup tempat bekalnya.

Hari ini ada remedial biologi sepulang sekolah. Betapa sakitnya aku karena harus ikut remedial itu dan betapa saktinya Agnes karena tidak ikut remedial itu–nilainya sempurna.

***

Remedial berlangsung hening dan membosankan. Karena paling terakhir mengumpul, aku ditinggal sendirian di kelas. Saat sedang membereskan barang, terlihat ada benda kotak berwarna ungu di laci meja tempat Agnes biasa duduk. Penasaran dengannya, kuambil benda itu. Diary Agnes. Kenapa bisa tertinggal, sih? Ceroboh sekali Agnes. Bagaimana kalau ditemukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab? Bisa kiamat Agnes.

Diary ini berat juga. Pasti isinya semua curhatan para pelacur yang setiap istirahat datang padanya. Mungkin mulai dari jaman dia SMP, sampai saat ini. Kira-kira isi curhatan Cynthia yang tadi siang apa, yah...?

Selasa, 5 Februari 2008 – dua tahun lalu, saat ia kelas delapan.

Sekarang lagi jamannya pacar-pacaran, nih... Kayaknya cuma aku deh, yang gak punya pacar. Sedihnya... Jadi iri sama yang lain. Debbie, my best friend–yang katanya sehati sejiwa denganku dalam segala hal, sekarang udah gak sehati sejiwa lagi. Dia jadian sama Jeremy! Aku ditinggalnya dalam jurang kejombloan yang kelam dan tak berujung. Ah, Rese!

Aneh banget nih anak. Beda banget gaya bicaranya sama yang sekarang. Baru tahu dulu dia lebay kayak gini. Kubalik beberapa halaman ke depan.

Jum’at, 16 Mei 2008

Hari ini Debbie putus sama Jeremy. Debbie sampe nangis gak berenti-berenti. Duh, kasihan juga, sih... Tadi aku temenin dia nelpon sampe berjam-jam. Isinya siaran ulang semua. Dia udah ngomong semuanya di sekolah, diulang lagi. Bosen, deh... Tapi, yaah... Sebagai teman yang baik aku harus mau mendengarkan curhatannya.

Jadi ngebosenin, deh. Debbie siapa, sih? Jeremy juga siapa? Kubalik banyak halaman ke depan supaya cepat.

Rabu, 24 Maret 2009

Sekarang jadi banyak orang yang curhat ke aku, deh... Mau cowo ataupun cewe, pernah curhat ke aku. Kebanyakan si cewe... Enak juga jadi tempat curhat banyak orang. Aku jadi lebih sabar, lebih pengertian pada orang lain, dan lebih menghargai pandangan hidup masing-masing orang.

Ternyata Agnes udah buka tempat pelacuran dari kelas sembilan. Gak heran tempat pelacurannya tersohor sampai ke satu angkatan. Apa dia gak bosen dicurhatin mulu tiap hari? Lama-lama kuping panas juga kali, kalau mendengarkan ocehan orang model Vanessa gitu setiap istirahat. Agnes kok mau, yah?

Sabtu, 11 April 2009

Aku kangen sama papa. Kenapa sih, Tuhan manggil papa cepet banget? Papa itu kan orang yang baik. Apa orang yang baik harus selalu cepet mati? Mama bilang papa meninggal karena diabetes mellitus. Aku browsing di internet, diabetes mellitus itu penyakit keturunan. Dokter yang menangani papa juga bilang bahwa aku ada kemungkinan terkena penyakit yang sama dengan papa. Aku jadi takut, nih... Tadi aku dites, hasilnya keluar minggu depan.

Hah? Diabetes mellitus? Kok aku gak pernah tahu? Kalau soal ayahnya yang meninggal setahun lalu itu aku sudah tahu. Tapi aku tidak tahu sama sekali soal penyakit yang ayahnya derita. Apalagi soal kemungkinan Agnes juga terserang penyakit yang sama. Kubalik lagi halaman sampai satu minggu setelahnya.

Sabtu, 18 April 2009

Mungkin memang sudah rencana Tuhan. Apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Aku pun terserang diabetes mellitus, sama seperti papa. Kata dokter sih gak masalah. Masih bisa sembuh asalkan pola makanku dijaga dengan baik. Tapi aku takut banget nih, diary...

Astaga! Agnes terserang diabetes mellitus? Kenapa ia tak pernah menceritakannya pada siapapun? Apa ia malu? Tapi kalau dipikir-pikir, sangatlah masuk akal kalau ia tidak bilang pada siapapun tentang penyakitnya itu. Selama ini ialah yang selalu mendengarkan lacuran teman-temannya. Dengan pola seperti itu, bisakah ‘teman-teman’nya menjadi pendengar yang baik saat dibutuhkan olah Agnes?

Ini sangat tidak adil. Saat ‘teman-teman’ Agnes membutuhkan telinganya, Agnes selalu ada di kelas setiap istirahat hingga kadang ia tidak makan siang. Kenapa saat Agnes yang butuh, mereka tidak ada? Aku harap aku hanya salah menerjemahkan isi diary-nya. Kucari tanggal kemarin.

Senin, 18 Januari 2010

Vanessa lagi-lagi cerita soal mantannya. Sepertinya kali ini adalah yang ke-28. Aku tidak ingat lagi. Terlalu banyak! Vanessa lama-kelamaan jadi nyebelin, deh... AKu jadi ingat waktu aku kelas sembilan. Padahal aku mau certain soal papa dan penyakit yang kuderita, tapi Vanessa sok sibuk banget. Bikin kesel. Memang cuma kamu temen aku yang paling setia, diary...

Oh iya, ada berita buruk. Tadi aku check-up, dokter bilang penyakitku memburuk. Apa mungkin karena pola makanku yang tidak baik, yah? Sarapan jarang, makan siang pun kadang makan, kadang enggak. Gimana donk, diary? Aku masih mau hidup...

Masih mau hidup? Kok lucu banget sih kata-katanya? Memangnya ia yakin akan mati sebentar lagi? Memprihatinkan sekali.

Ternyata aku memang benar. Kenapa ‘teman-teman’nya sangat tidak adil? Agnes kan bukan ‘tong sampah’ tempat mereka membuang semua uneg-uneg yang mereka miliki tanpa memperdulikan nasib si ‘tong sampah’ saat ia juga ingin buang ‘sampah’. Kenapa?

Kututup buku diary itu dan kumasukkan dalam tas. Nanti aku akan mampir ke rumahnya untuk mengembalikan buku itu.

***

“Maaf, Agnes-nya ada?” tanyaku pada wanita yang membukakan pintu rumah Agnes saat aku berniat mengembalikan buku ungu milik Agnes.

“Agnes lagi di rumah sakit,” jawab wanita itu.

“Lho? Agnes kenapa?”

“Tadi Agnes pingsan sesampainya di rumah sehabis pulang sekolah.”

“...Aku masih mau hidup...”

Aku jadi teringat kata-kata konyol itu. Ya Tuhan, aku mohon lindungilah Agnes.

“Di--di rumah sakit mana, yah?” tanyaku tergagap.

“RSCM,” jawab perempuan itu. Ah! Kenapa disitu? Katanya masih mau hidup?

“Ya sudah, terimakasih,” kataku akhirnya. RSCM... RSCM... RSCM...

***

“Saudari Agnes ada di ruang ICU. Sedang ditangani dokter. Mohon maaf, belum bisa dijenguk,” kata resepsionis RSCM saat kutanyai tentang keberadaan Agnes.

“Terimakasih,” jawabku singkat.

Akhirnya aku pulang ke rumah dengan buku diary Agnes masih ada di tasku. Aku sangat berharap bisa mengembalikan buku ini padanya.

***

“Agnes sakit,” kata wali kelas kami saat briefing pagi di kelas.

Sudah lebih dari dua minggu Agnes tidak masuk sekolah. Selama itu pun aku belum menyentuh buku diary-nya lagi. Kubawa ke sekolah setiap hari, siapa tahu ia masuk dan mencari keberadaan buku kesayangannya yang sudah ia terlantarkan cukup lama.

Sorenya aku pergi ke RSCM. Mungkin kali ini Agnes sudah bisa dijenguk. Resepsionis bilang, Agnes sudah dipindahkan ke ruang rawat inap biasa karena keadaannya sudah membaik. Sesampainya aku di depan ruang yang disebutkan oleh resepsionis, kuketuk pintu kamar Agnes.

“Masuk,” jawab suara dari dalam. Suaranya lemah, tapi khas Agnes. Aku lalu masuk.

“Nes... udah baikan?”

“Udah, kok... Makasih udah dateng, yah...”

“Aku mau balikin buku diary kamu. Dua minggu lalu ketinggalan di kelas,” kataku kepada Agnes.

“Titip dulu ya, James... boleh, kan?” tanya Agnes lembut. Titip? Memangnya kenapa?

“Oke. Kapan mau kamu ambil?”

“Setelah aku masuk sekolah.”

“Kapan itu?”

“Gak tahu. Belum ada ijin dari dokter.”

***

Aku menunggu lama sekali untuk ‘ijin dari dokter’ itu. Setelah sebulan lewat tiga hari Agnes tidak masuk sekolah, aku mendengar kabar dari wali kelas kami bahwa ia meninggal. Pemakamannya diadakan kemarin pagi. Tentu saja aku sangat tidak percaya akan berita itu. Beberapa hari lalu aku menjenguknya, dan keadaannya sudah jauh membaik. Teman-teman sekelasku pun kaget mendengarnya. Aku jadi bingung. Kenapa mereka kaget? Menjenguk saja tidak.

Pulang sekolah kudatangi rumah Agnes. Saat kutanyai soal Agnes, wanita yang kemarin memberitahuku bahwa Agnes ada di RSCM bilang bahwa Agnes memang sudah meninggal. Aku sangat terpukul mendengar hal itu. Apalagi mengingat buku diary-nya masih ada di tanganku. Akhirnya aku pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kamar dan mengunci pintu kamar. Kukeluarkan buku ungu milik Agnes. Kupandangi sebentar, lalu kumasukkan dalam laci meja belajarku di bagian paling dalam. Kukunci laci meja belajarku, dan kubuang kunci itu. Belakangan kuketahui bahwa penyakit yang Agnes derita bisa berubah drastis hanya dalam hitungan detik. Harusnya aku belajar biologi lebih giat lagi.

Biarlah kenangan tentang Agnes tertutup dalam-dalam. Aku tak mau lagi membaca lembaran-lembaran rahasia milik Agnes. Pengorbanannya untuk para pelacur yang tidak tahu diri itu sudah sangat cukup. Aku harap tidak ada ‘Agnes’ lainnya di sekolahku nanti. Tenanglah selalu, Agnes... Semoga kau punya teman curhat disana...


~Selesai~