Saturday, July 10, 2010

Prolog (Kali ini beneran, gan! Cekidot..)

Sebelumnya gw mau curhat dulu, nih.. (Yaelah! Mau nulis PROLOG aja pake curhat!)
Hari ini gw lagi gak enak badan (karena kekenyangan makan) ama lagi gak enak hati (karena berantem ama emak gw). Hehehehe..
MySpace (Betewe, ini monyet tampangnya cabul bener)
Tapi gak usah dibahas, laah..
Betewe, (gw lagi seneng ngomong 'betewe') gw belom ngetik ama sekali nie prolog (masih di buku yang penuh corat-coret keik sampah), jadi gw pasti lama mantengin page ini. Hahahaa....

MySpace

Betewe lagi, maaf nie prolog super amatir. Biasalah, penulis payah seperti saya memang menghasilkan karya yang payah. Hehhe....
Oiaa.. Saya peringatkan sedikit. Ini agak 'alay', jadi.... maaf yah.

MySpace

PROLOG


Aku ingat pertama kali kita bertemu. Saat itu aku yang anak baru, datang hampir terlambat ke ruang kelas. Aku menemukanmu di tangga. Duduk. Entah sedang berbuat apa. Kebingungan.
"Gak ke kelas? Udah mau telat, lho..." tegurku.
Walau sudah kusapa dengan lembut, kau hanya diam menatapku. Aku yang baru lepas dari seragam putih-biru jadi agak gelagapan.
"Eh, kok diem aja sih? Kelas berapa?"
"Sori, gue bingung di mana ruang kelasnya," katamu seraya berdiri.
"Emang gak ikut MOS?"
"Gak," jawabmu singkat.
"Kelas berapa?"
"Sepuluh empat," entah kenapa kau selalu menjawab pertanyaanku dengan singkat. Hey, sepuluh empat itu kelasku juga!
"Gue juga sepuluh empat. Ke kelas bareng, yuk!" ajakku seramah mungkin.
"Oke."
Akhirnya kita ke kelas bersama dan dihukum bersama karena terlambat bersama. Sejak kita terlambat itu, anak-anak di kelas jadi sering menggoda kita. Event apapun dijadikan sarana untuk menggoda kisah keterlambatan kita. Aku baru tahu kamu SMP di sekolah yang sama sehingga temanmu banyak. Bagaimana kamu bisa tidak tahu di mana ruang kelasmu?
Lama kelamaan aku jadi menyimpan rasa padamu. Godaan-godaan itu terdengar seperti nyanyian malaikat surgawi bagiku.
Sampai suatu saat, hal yang mengejutkan terjadi. Kau menyatakan rasa itu padaku. Sejujurnya aku ingin membalas perasaan itu. Ingin sekali. Sayang, orang tuaku belum mengijinkanku berpacaran.
Setahun, dua tahun, tiga tahun berlalu. Rasanya waktu berjalan cepat sekali. Kalau dihitung-hitung, kau sudah menyatakan perasaanmu tujuh kali, dan aku juga sudah menolakmu sebanyak itu.
Saat kuliah, aku tahu kau sengaja kuliah di universitas yang sama denganku, bahkan mengambil jurusan yang sama denganku. Saat kuliah pun aku masih belum boleh berpacaran. Perjuangan lain bagimu.
Setiap tidak ada kelas, kita sering terlihat berduaan di taman kampus. Tanpa dikendalikan, gosip tentang kita pun menyebar luas. Pernah suatu kali kau bertanya padaku tentang hal yang seharusnya tidak kau tanyakan.
"Kenapa sih lu gak boleh pacaran?"
"Tau deh," jawabku asal.
"Kapan sih lu boleh pacaran?"
"Gak tau," jawabku sedatar mungkin.
"Gue mau tungguin lu sampe kapanpun. Gue janji," jawabmu sambil menggenggam tanganku. Harusnya kata-kata yang barusan itu tidak pernah kau ucapkan, karena aku tidak tahu kau begitu serius.
"Iya. Terserah lu," kataku sambil melepaskan tanganku dari genggaman tanganmu.
Rasa yang kita pendam sejak masa SMA itu tidak pernah bisa hilang. Padahal penampilanmu menarik. Kau tampan, gagah, dan populer. Tidak ada wanita yang tidak mau jadi pacarmu. Adikku yang baru kelas dua SMA pun tergila-gila padamu.
Beberapa hari setelah kau menanyakan pertanyaan itu, aku tahu kenapa aku tidak boleh pacaran bahkan saat kuliah. Otang tuaku sudah punya jodoh untukku. Aku merasa lucu ketika aku dan dia dipertemukan di ruang keluarga rumahku. Ia anak sahabat karib ayahku. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Ia datang melamarku.
Aku berpikir, kenapa tidak adikku saja yang dijodohkan dengannya? Anak pertama memang harus selalu mengalah.

Ia tampan, walau tak setampan kau
Ia ramah, walau tak seramah kau
Senyumannya indah, walau tak seindah milikmu
Aku harap ia membantuku
melupakanmu
Walau memang tak ada apapun di antara kita

Hari kelulusan itu datang juga. Kudengar kau sudah punya pacar. Meski kau melanggar janjimu, aku bahagia. Aku bahagia karena aku tidak lagi jadi pengekang bagimu. Dan karena kau tidak lagi jadi pengekang bagiku.
Baru satu bulan semenjak aku lulus, orang tuaku sudah membicarakan hari pernikahan kami. Tak peduli apakah kami saling mencintai atau tidak, tak peduli apakah masing-masing dari kami sudah memiliki orang lain dalam hati kami.
Saat pernikahanku tinggal seminggu lagi, aku semakin takut. Entah apa yang aku takutkan, aku juga tidak tahu. Sejujurnya aku tidak ingin mengundangmu ke pernikahanku, tapi aku harus. Karena kita hanya teman. Teman. Teman. Teman.
Pernikahanku berlangsung baik, dan kau datang. Aku agak terkejut karena kau datang bersama adikku. Ternyata adikkulah wanita itu. Wanita yang berhasil membebaskanmu dari penjara batinku.
Saat itu juga aku merasa sangat bingung. Aku bingung ingin tertawa atau menangis. Tubuhku bergetar tak karuan. Saat itu pula sebuah sentuhan lembut kurasakan di tanganku. Dia. Suami baruku. Ia memandangku lekat-lekat, kemudian menempelkan bibirnya di bibirku. Hanya satu detik. Dan detik berikutnya aku tak kuasa membendung air mataku. Tak peduli make-upku akan luntur, tak peduli rambutku akan rusak. Aku menangis di pelukannya. Aku memang sangat aneh.
Waktu berjalan cepat sekali. Tak terasa sudah setahun sejak aku mengganti nama belakangku. Lama-kelamaan aku mulai mencintainya, walau aku belum bisa melupakanmu. Kami belum dikaruniai seorang anakpun, tapi itu bukan masalah.

Saat rembulan bersinar terang
Saat ia tidak berada dalam pelukku
Saat aku sedang sendirian
memandangi langit hitam gemerlapan
Saat itulah kau hadir

"Nora..." sapamu lembut. Belum pernah selembut ini.
"Oh, hey. Mau berkunjung kok gak bilang dulu?"
"Aku..."
Sesaat ada keheningan di antara kita. Keheningan semu yang ditimbulkan oleh ingatan yang satu per satu lewat di hadapanku.
"Aku belum melupakan janjiku..." lanjutmu kemudian.
Mungkin ini agak belebihan, tapi vas bunga yang ku letakkan di teras tak sengaja tersenggol dan jatuh. Pecah, hancur berkeping-keping di lantai.
"Ma-maksudmu?" jawabku tergagap. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba bibirku jadi sulit digerakkan.
"Aku akan menikahi adikmu," katamu tanpa memandangku.
"Baguslah... kapan?"
Kau hanya terdiam. Adikku baru saja masuk kuliah, dan butuh waktu minimal empat tahun lagi untuk meminangnya.
"Aku mencintaimu. Masih mencintaimu, dan akan terus mencintaimu," akhirnya kau bicara.
"Tapi tadi kau bilang akan menikahi adikku?"
"Hanya untuk bergabung dengan keluargamu," jawabmu datar. Saat itu juga aku berpikir bahwa kau telah kehilangan akal sehatmu. "Hanya untuk berada di dekatmu selamanya," lanjutmu.
Entah iblis mana yang ada dalam hatiku, aku bahagia mendengar kata-katamu yang barusan. Sangat bahagia.
Malam semakin larut, angin semakin dingin, dan obrolan kita semakin dalam. Terlalu dalam sampai aku lupa bahwa kau kekasih adik kandungku, dan bahwa aku telah bersuami.
Kita melakukannya. Hal yang seharusnya tidak dilakukan wanita bersuami dengan calon adik iparnya...

Ini kisah cinta sejati
Atau hanya harapan sirna
yang bersembunyi di balik topeng..?

1 comment:

  1. Waw.. Tp ini bukan prolog namanya.. Ini cerpen..

    -Summer-

    ReplyDelete

Cercaan Anda sangat bermanfaat bagi saya.